Senin, 14 Januari 2019

Jodoh 2

Di usia matang, obrolan seputar jodoh dan pernikahan pun semakin santer terdengar. Dari teman, kerabat hingga keluarga sendiri tak jarang menyenggol urusan pernikahan dalam setiap perbincangan. Paling sering pertanyaan 'kapan nikah?' atau 'dimana calonnya?' yang dilontarkan.


Lewat obrolan bersama kawan seperkongkowan, aku diberitahu pengalamannya saat berbagi kisah dengan seorang Gus, sebutan untuk putra Kyai.



"Gus Hanafi pernah bilang. 'kalau kamu benar-benar mau menikah, cobalah melamar gadis yang benar-benar mau kamu nikahi." temanku mulai berkisah. "kalau gadis itu benar jodohmu pasti diterima. Kalau bukan, paling juga ditolak. Kalau perlu kamu lamar gadis yang tidak kamu inginkan menjadi istrimu sekalipun."



Mendengarnya, aku memasang kuda-kuda. Aku membetulkan posisi dudukku karena tertarik dengan kalimat itu. Bagaimana mungkin melamar gadis yang tidak diinginkan? Aku makin penasaran.



"kalau memang bukan jodohmu, gadis jelek pun akan menolak lamaranmu." 
Aku tertawa mengiyakan saat mendengar hal itu, walau aku sendiri tak mungkin berani melamar gadis yang tidak aku ingingkan. Wong melamar gadis yang diinginkan saja harus menunggu kekuatan sembilan bola naga. Heuheu.. 



Tak lama menepi dari obrolan itu, aku menemukan quote di instagram dengan gambar Habib Umar bin Hafids.

@dawuhguru


"seorang dara muda, memikirkan tentang jodoh itu wajar, tapi tidak seharusnya waktumu habis untuk memikirkan sesuatu yang sudah dijamin untukmu."



Kalau ingin, lakukan. Kalau ditolak, jangan risau. Bagaimana? Siap? 

Selasa, 30 Januari 2018

Jodoh

Di bawah pengaruh alkohol, temanku mengaku siap berjodoh dengan siapa saja. Bahkan dengan mantan pelacur sekalipun. Meski ia mengatakannya dalam kondisi mabuk, diam-diam aku mulai menyetujuinya. Terlepas dari perilakunya yang sedang mabuk atau tidak, secara samar aku mulai menangkap hal serius dari pengakuan itu.

Semisterius itulah jodoh, hingga kerap kita dengar ungkapan bahwa jodoh ditangan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu siapa jodoh kita. Meski tak ada batasan dalam mengharap kebaikan, termasuk dalam mengharap jodoh yang baik, namun perlu disadari bahwa mengaku diri sendiri sudah baik nyatanya adalah hal yang tidak baik. Apalagi ditambah dengan rasa percaya diri bahwa kelak akan berjodoh dengan pasangan yang baik pula. Tuhan tahu siapa kita, tahu seberapa baik dan buruknya kita, hingga paham betul dalam memilihkan siapa yang cocok menjadi jodoh kita kelak. Karena ukuran baik dan buruk di mata manusia akan berbeda jika dilihat dari pandangan Tuhan.

Mengingat kembali obrolanku dengan kawan dekat, tentang pasrah dan jodoh. Ada dua hal yang aku sendiri tidak tahu mana yang lebih tepat dalam usaha menemukan atau dipertemukan dengan  jodoh.

1. Aku berusaha mendapatkan dirinya, dengan menyerahkan hasil dari usahaku pada Nya.

2. Aku tidak berusaha mendapatkan siapa-siapa, tapi menyerahkan pada Nya, untuk mempertemukanku dengan siapa saja yang dikehendaki Nya.

Jalan mana pun, jika untuk kebaikan semoga kita mendapat ridho Nya.

Senin, 29 Mei 2017

Kelemahan Diri


"Jika aku lemah, itu murni karena kesalahanku yang kurang mengasah kekuatanku. Dan tidak mungkin aku menyalahkan orang lain atas kelemahanku. Jika aku tergoda membatalkan puasa karena ada warung makan yang buka, maka itupun murni karena kelemahan imanku. Tidak akan aku lemparkan kesalahanku kepada mereka para penjual makanan." Syafid akhirnya membuka suara, setelah cukup lama mendengarkan diskusi teman-temannya.
"Bukankah kita perlu mengawal keimanan umat, dengan cara salah satunya yaitu meminta warung makan untuk tutup?" Zahida menanggapi.

"Bagaimana jika kita fokuskan saja dengan cara, menyadarkan umat untuk mempertebal iman diri sendiri terlebih dahulu. Membentengi diri sendiri dan bukan hanya meminta kepada orang lain agar menyesuaikan dengan kita. Sebuah bangunan menjadi kuat karena mempunyai pondasi yang kuat, jika kita tidak menguatkan pondasi keimanan diri kita sendiri dan hanya berharap orang lain menyesuaikan dengan segala hal yang menyenangkan atau meringankan kita, mau jadi apa kita? Selamanya kita akan lemah." Jawab Syafid, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada sekumpulan anak muda yang berburu takjilan.

"Ada ungkapan, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin berhembus. Bisa jadi warung makan itu sekedar hembusan angin, ujian kepada kita dalam proses memperkuat iman. Jika kita memaksa warung makan untuk tutup, itu sama halnya berharap hidup kita terhindar dari ujian demi ujian. Padahal untuk menjadi manusia yang lebih baik, kita harus lulus menjalani ujian. Jika diuji saja tidak mau, bagaimana kita bisa menjadi lebih baik? Ternyata kelemahan kita adalah menolak untuk diuji." Lanjut Syafid panjang lebar, sedangkan teman-temanya mendengarkan dengan seksama. Adzan maghrib pun berkumandang, menjadi pertanda berakhirnya diskusi mereka. Acara kembali berlanjut dengan buka bersama.