Senin, 02 Maret 2015

Hobi yang bertele-tele

Teringat waktu duduk dibangku sekolah. Sering kali diberi tugas meringkas satu bab pelajaran yang menghabiskan beberapa lembar kertas folio.

Sebagai murid yang tak suka bertele-tele, tugas meringkas adalah tugas yang menyenangkan dan mudah karena tidak terlalu memeras otak. Tinggal ambil poin-poin penting dan singkirkan yang kurang penting. Meringkas seperti ini merupakan cara yang ampuh setidaknya bagi diriku pribadi. Karena secara tidak langsung kita tinggal memahami poin penting yang telah kita tulis tanpa susah payah mengingat yang lain.

Ada sedikit cerita menarik, dulu ketika tugasku meringkas rampung dan dikumpulkan pada guru, sang guru mengatakan bahwa apa yang ku ringkas ternyata terlalu ringkas. Lha kok? Apa yang salah? Tugas meringkas dan setelah diringkas malah kena teguran karena apa yang ku ringkas ternyata terlalu ringkas. Hanya dua kemungkinan yang bisa ku tebak. Pertama, karena aku terlalu pintar hingga bisa melihat poin-poin terpenting atau yang kedua, karena aku terlalu bodoh hingga tak tahu bagian mana yang harus diringkas. (Kemungkinan kedua adalah yang terbesar. muahahaha). Dan akhirnya tugasku dikembalikan dan disuruh ngulang kembali.

Dengan susah payah ku habiskan waktu tenaga dan uang saku untuk membeli kertas folio tambahan guna mengulang kembali tugas yang diberikan. Ku baca dan ku tulis kembali dengan tulisan tangan yang lebih hancur dari tulisan biasanya yang memang tak ada bagusnya.

Entah otak bagian kanan atau kiri yang aku gunakan saat meringkas ulang, atau malah ku ringkas ulang tanpa menggunakan otak karena yang awalnya adalah tugas meringkas pelajaran Agama mendadak menjadi pelajaran Bahasa Jawa. Apa yang ku ringkas lebih mirip aksara Jawa daripada abjad bahasa Indonesia. "masa bodo dengan kerapian tulisan yang penting mah ditulis ulang" pikirku dengan jengkelnya.

Dari segi isi tak jauh berbeda antara tugas awal dengan tugas yang kedua. Hanya sedikit ku tambahkan bagian-bagian kurang penting supaya terkesan lebih komplit (lebih pintar). Di Indonesia mendeskripsikan sesuatu secara panjang lebar memang dianggap sebuah kepintaran. Berbenturan dengan pendapat Albert Einstein yang mengatakan " Jika kita tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana itu berarti kita tidak memahami apa yang kita ketahui "

Quotes Albert Einstein
Sempat kubertanya-tanya tentang maksud dan tujuan diberikannya tugas meringkas tersebut. Sekedar pelajaran menyalin atau belajar mencari inti sebuah pelajaran untuk dipahami?
Aku yang aslinya tak suka hal yang bersifat berbelit-belit, kini malah mempunyai hobi yang mengharuskan diri melakukan hal itu. dan disini hal yang bertele-tele itu mempunyai posisi penting tersendiri.

Hobi menulis terlebih saat menulis cerpen atau novel memang memerlukan jalan cerita yang sedikit bertele-tele namun tidak mengurangi keaslian dari jalannya cerita macam sinetron. Jika seorang biasa mendeskripsikan gunung sebagai sebuah dataran tinggi, maka seorang penulis akan lebih kompleks menggambarkannya dalam tulisan dengan pemilihan kata-kata yang seindah mungkin. Disinilah hal yang bertele-tele (Aku gak tahu istilah sastranya) bisa sangat penting untuk menumbuhkan feel atau rasa tersendiri bagi para pembaca. Tak ada gambar dalam cerpen atau novel, sehingga dipilihah kata-kata sebagai media bagi pembaca untuk mengimajinasikan jalannya cerita.

Entah bagaimana jadinya jika seorang penulis cerpen atau novel adalah orang yang menerapkan penuh prinsip 'to the point' pada karyanya. sekali mulai tiba-tiba selesai. Jadi sebenarnya 'to the point' atau 'berbelit-belit' mempunyai posisi penting sendiri.

Tidak ada komentar: