Kamis, 22 Desember 2016

Ngobrol Sambal


Berbeda dengan tulisanku sebelumnya Cabe-cabean Jahat. Kali ini aku akan menceritakan pengalaman berharga saat menikmati sambal bersama teman.
***
Di sebuah warung kaki lima, aku pernah mengeluhkan rasa sambal yang bermasalah kepada kawan seperjalanan. Sepertinya sambal itu dibuat dengan bahan yang tak lagi segar, terasa kecut dengan aroma yang tak lagi menggugah selera.
Sebagai pelanggan yang merasa menjadi raja, timbul rasa ketidak puasan dalam hati, terlebih setelah merasa mengeluarkan uang untuk membayarnya. Seharusnya aku mendapat sesuatu yang lebih nikmat, pikirku. 

Untuk memastikan bahwa sambal itu bermasalah, bukan lidahku yang bermasalah, akupun menanyakannya pada kawan tandemku yang tetap lahap mencomot sambal di piringnya. Jawabannya pun di luar dugaanku.

"Dimakan apa adanya saja mas. Aku ingat pernah hidup susah, untuk sekedar makan sehari-hari saja kurang. kita hargai setiap makanan yang kita punya, enak tidak enak akan terasa enak jika kita mampu mensyukurinya." Jawabnya pelan dan tenang, walau tak mampu ia sembunyikan getar nada bicara saat menjawabnya, bahkan kulihat matanya yang sempat berkaca-kaca. Pada saat yang sama aku hanya terdiam, mencoba menerawang kehidupan masa lalu perempuan itu.

Mendengar jawaban itu, ada setitik rasa malu namun besar rasa kagumku. Untuk belajar kedewasaan hidup, Tuhan mengirimkan seorang perempuan yang umurnya pun di bawahku untuk menegurku. Lewat percakapan itu, aku ditegur... sudah seberapa tinggi hati diriku selama ini?