Senin, 29 Mei 2017

Kelemahan Diri


"Jika aku lemah, itu murni karena kesalahanku yang kurang mengasah kekuatanku. Dan tidak mungkin aku menyalahkan orang lain atas kelemahanku. Jika aku tergoda membatalkan puasa karena ada warung makan yang buka, maka itupun murni karena kelemahan imanku. Tidak akan aku lemparkan kesalahanku kepada mereka para penjual makanan." Syafid akhirnya membuka suara, setelah cukup lama mendengarkan diskusi teman-temannya.
"Bukankah kita perlu mengawal keimanan umat, dengan cara salah satunya yaitu meminta warung makan untuk tutup?" Zahida menanggapi.

"Bagaimana jika kita fokuskan saja dengan cara, menyadarkan umat untuk mempertebal iman diri sendiri terlebih dahulu. Membentengi diri sendiri dan bukan hanya meminta kepada orang lain agar menyesuaikan dengan kita. Sebuah bangunan menjadi kuat karena mempunyai pondasi yang kuat, jika kita tidak menguatkan pondasi keimanan diri kita sendiri dan hanya berharap orang lain menyesuaikan dengan segala hal yang menyenangkan atau meringankan kita, mau jadi apa kita? Selamanya kita akan lemah." Jawab Syafid, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada sekumpulan anak muda yang berburu takjilan.

"Ada ungkapan, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin berhembus. Bisa jadi warung makan itu sekedar hembusan angin, ujian kepada kita dalam proses memperkuat iman. Jika kita memaksa warung makan untuk tutup, itu sama halnya berharap hidup kita terhindar dari ujian demi ujian. Padahal untuk menjadi manusia yang lebih baik, kita harus lulus menjalani ujian. Jika diuji saja tidak mau, bagaimana kita bisa menjadi lebih baik? Ternyata kelemahan kita adalah menolak untuk diuji." Lanjut Syafid panjang lebar, sedangkan teman-temanya mendengarkan dengan seksama. Adzan maghrib pun berkumandang, menjadi pertanda berakhirnya diskusi mereka. Acara kembali berlanjut dengan buka bersama.


Minggu, 21 Mei 2017

Rasan-rasan

"Jika tidak merasa marah,  maka perlu dipertanyakan rasa cintanya." Begitu pikirnya. Bahkan ada pertanyaan "Kapan marahnya?" seolah parameter rasa cinta hanya diukur dari rasa marah kita, dan kita ditunggu-tunggu untuk marah sebagai bukti cinta. Konyol sebetulnya, terasa ada kontradiksi atau pertentangan antara cinta dan marah.

Cinta mendekatkan, Marah menjauhkan.
Cinta itu lembut, Marah itu keras.
Cinta sejuk, Marah panas.
Cinta merangkul, Marah memukul.
Bagaimana mungkin mendekat, jika melangkahpun mundur menjauh?
Bagaimana mungkin berlemah lembut, jika kekerasan masih bercokol di hati?
Bagaimana merasakan kesejukan, jika diri sendiri mudah panas?
Bagaimana bisa merangkul, jika dekatpun memukul?

Apa kau tidak marah, jika orang yang kau cintai disakiti orang lain? | Tentu saja marah, bahkan wajar jika seseorang mempunyai sifat marah. Marah pun tidak harus menjadi pemarah bukan? Apa hanya marah yang menjadi poin pentingnya? Apa hanya sampai di situ, cara untuk membuktikan rasa cinta kita?

Jika di suatu hari, orang yang kau cintai bertengkar dengan orang lain. Apakah serta merta kau ikut marah-marah membela orang yang kau cintai, tanpa tahu duduk persoalannya? Jika, iya. Apakah tindakan itu bijak? Jika mengingat kembali bahwa cinta itu mendekatkan, lembut, sejuk bahkan merangkul. Maka cintapun mendamaikan.

Se-misterius itu kah cinta, hingga untuk memahami dan menjalaninya pun kita masih berpotensi melakukan kesalahan? Tuhan Maha Asyik dalam menguji hambanya..

Rabu, 03 Mei 2017

Quiet People


Introvert
Pada akhirnya, aku termenung memikirkan pertanyaan yang dilemparkan teman dekatku, Navira Ambar Sari. Teman dekat yang kukenal dari teman dekat lainnya, Ratna Dwiastuti. "Kamu kok diam terus to, Mas?" tanyanya dengan aksen Gresik. Pertanyaan yang cukup sering kudengar darinya. Pertanyaan yang kemudian menimbulkan pertanyaan lain di benakku, "Mengapa dia menanyakan hal itu?"

Setelah menempuh waktu cukup lama untuk melamun, ada beberapa kemungkinan yang sepertinya berkaitan dan cukup mendasar untuk menjawab pertanyaan itu. 
Pertama, sibuk. Saat aku berdiam diri, maka aku sedang sibuk berpikir. Saat terlalu asik berpikir, itu berarti banyak persoalan yang membutuhkan jawaban-jawaban yang semakin asik direnungkan. Walau pengangguran, sepertinya otakku tidak ingin menganggur. huehue.. Jika itu saja tidak cukup, maka ada  kemungkinan lainnya. 

Kedua, Menjadi diri sendiri. Pada dasarnya memang aku seorang introver, suka menyendiri dan sedikit tertutup. Dengan kata lain, jika saat bersamanya aku menjadi pendiam, itu berarti aku sedang menjadi diriku sendiri atau memperlihatkan sifat asliku. | Apa itu berarti saat berkelakuan asik dan konyol, kau sedang menjadi orang lain? | Tidak, aku menganggapnya proses membuka diri. Aku sadari menjadi tertutup tak selamanya menyenangkan. Membuka diri, menambah pertemanan, mengenali berbagai macam watak dan kepribadian seseorang ternyata cukup menyenangkan bahkan sangat menyenangkan.

Lagi-lagi aku menyadari sesuatu. Diam-pun ternyata dapat menarik perhatian, dalam hal ini, perempuan. Kembali pada pertanyaan "Mengapa dia menanyakan hal itu?". Kira-kira apa yang dipikirkan Navira Ambar Sari? Kehilangan sosok asikku atau malah menemukan sifat asliku?