"Jika aku lemah, itu murni karena kesalahanku yang kurang mengasah kekuatanku. Dan tidak mungkin aku menyalahkan orang lain atas kelemahanku. Jika aku tergoda membatalkan puasa karena ada warung makan yang buka, maka itupun murni karena kelemahan imanku. Tidak akan aku lemparkan kesalahanku kepada mereka para penjual makanan." Syafid akhirnya membuka suara, setelah cukup lama mendengarkan diskusi teman-temannya.
"Bukankah kita perlu mengawal keimanan umat, dengan cara salah satunya yaitu meminta warung makan untuk tutup?" Zahida menanggapi.
"Bagaimana jika kita fokuskan saja dengan cara, menyadarkan umat untuk mempertebal iman diri sendiri terlebih dahulu. Membentengi diri sendiri dan bukan hanya meminta kepada orang lain agar menyesuaikan dengan kita. Sebuah bangunan menjadi kuat karena mempunyai pondasi yang kuat, jika kita tidak menguatkan pondasi keimanan diri kita sendiri dan hanya berharap orang lain menyesuaikan dengan segala hal yang menyenangkan atau meringankan kita, mau jadi apa kita? Selamanya kita akan lemah." Jawab Syafid, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada sekumpulan anak muda yang berburu takjilan.
"Ada ungkapan, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin berhembus. Bisa jadi warung makan itu sekedar hembusan angin, ujian kepada kita dalam proses memperkuat iman. Jika kita memaksa warung makan untuk tutup, itu sama halnya berharap hidup kita terhindar dari ujian demi ujian. Padahal untuk menjadi manusia yang lebih baik, kita harus lulus menjalani ujian. Jika diuji saja tidak mau, bagaimana kita bisa menjadi lebih baik? Ternyata kelemahan kita adalah menolak untuk diuji." Lanjut Syafid panjang lebar, sedangkan teman-temanya mendengarkan dengan seksama. Adzan maghrib pun berkumandang, menjadi pertanda berakhirnya diskusi mereka. Acara kembali berlanjut dengan buka bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar