Minggu, 21 Mei 2017

Rasan-rasan

"Jika tidak merasa marah,  maka perlu dipertanyakan rasa cintanya." Begitu pikirnya. Bahkan ada pertanyaan "Kapan marahnya?" seolah parameter rasa cinta hanya diukur dari rasa marah kita, dan kita ditunggu-tunggu untuk marah sebagai bukti cinta. Konyol sebetulnya, terasa ada kontradiksi atau pertentangan antara cinta dan marah.

Cinta mendekatkan, Marah menjauhkan.
Cinta itu lembut, Marah itu keras.
Cinta sejuk, Marah panas.
Cinta merangkul, Marah memukul.
Bagaimana mungkin mendekat, jika melangkahpun mundur menjauh?
Bagaimana mungkin berlemah lembut, jika kekerasan masih bercokol di hati?
Bagaimana merasakan kesejukan, jika diri sendiri mudah panas?
Bagaimana bisa merangkul, jika dekatpun memukul?

Apa kau tidak marah, jika orang yang kau cintai disakiti orang lain? | Tentu saja marah, bahkan wajar jika seseorang mempunyai sifat marah. Marah pun tidak harus menjadi pemarah bukan? Apa hanya marah yang menjadi poin pentingnya? Apa hanya sampai di situ, cara untuk membuktikan rasa cinta kita?

Jika di suatu hari, orang yang kau cintai bertengkar dengan orang lain. Apakah serta merta kau ikut marah-marah membela orang yang kau cintai, tanpa tahu duduk persoalannya? Jika, iya. Apakah tindakan itu bijak? Jika mengingat kembali bahwa cinta itu mendekatkan, lembut, sejuk bahkan merangkul. Maka cintapun mendamaikan.

Se-misterius itu kah cinta, hingga untuk memahami dan menjalaninya pun kita masih berpotensi melakukan kesalahan? Tuhan Maha Asyik dalam menguji hambanya..

Tidak ada komentar: