"Setiap laki-laki muslim pasti menginginkan seorang istri yang solehah. Tapi laki-laki tidak pernah berkaca pada diri sendiri. Menginginkan seorang perempuan yang solehah, tapi kelakuan sendiri amburadul."
Entah ada kisah apa di balik tulisan perempuan itu. kata-katanya mengisyaratkan kekecewaan yang mendalam pada kaum laki-laki. Aku tidak mengenal perempuan itu, namun tergelitik untuk menanggapinya di forum diskusi facebook yang cukup lama kuikuti.
"Jika ternyata aku masuk dalam kategori laki-laki amburadul yang kau maksudkan, aku akan melakukan hal sama. Menginginkan wanita solehah untuk menjadi pendamping hidup. Bukankah kita diajarkan untuk mengutamakan yang baik agamanya dalam mencari pasangan, dalam hal ini soleh/solehah?" Balasku kemudian.
"Di mana-mana laki-laki yang membimbing wanita, bukan sebaliknya." Jawabnya.
Aku tak tahu. Di satu sisi ia mengakui sebagai seorang (wanita) yang butuh dibimbing, tapi mempermasalahkan orang lain (laki-laki) yang membutuhkan bimbingan. Sepertinya terjadi penyempitan makna bahwa bimbing-membimbing dibatasi oleh gender. Laki-laki yang harus membimbing dan wanita selalu dibimbing.
Mungkin perempuan itu bermaksud menyampaikan pendapat bahwa, barang siapa yang menginginkan suatu bentuk kebaikan, maka ia harus memantaskan diri terlebih dahulu untuk memperoleh kebaikan itu. Jika benar demikian, akupun setuju. Hanya saja kata-katanya terasa terlalu memojokkan kaum laki-laki terlebih yang amburadul, dan itu pula yang membuatku sedikit risih.
"Adalah hal yang wajar jika manusia menginginkan sesuatu yang baik. Atau bahkan, mungkin dianjurkan mengingingkan kebaikan? Seperti halnya doa yang memintakan kebaikan?"
"Ya, kalau aku sih laki-laki amburadul buang saja ke laut. Sekarang, bagaimana mungkin ia akan menjadi imam, jika mengimami diri-sendiri saja tidak mampu?" Tandasnya.
Pada akhirnya muncul lah rasa itu. Diri ini merasa lebih baik karena pihak lain terlihat lebih buruk. Semakin jelas sebab akibat yang ditimbulkan dari perasaan sombong, merasa lebih baik dari orang lain dan bahkan merendahkan orang lain. Lalu aku teringat kisah di luaran sana, tentang laki-laki mualaf yang beristrikan seorang muslimah sejati (sejak lahir). Sudah barang tentu, soal ilmu agama islam, istrinya berhak membimbing dan mengajarkan lebih dalam tentang agama islam.
"Perlakuan diskriminatif, menganggap mereka yang amburadul patut dijauhi dan harus dijauhi. Kalaupun menjauh, jauhi sifat buruknya bukan orangnya! Jika laki-laki amburadul dijauhi, lalu dakwah untuk siapa?" Aku memilih menyudahi diskusi yang mungkin lebih dekat pada perdebatan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar